Kamis, 23 November 2017

PROFIT SHARING SEBAGAI KARAKTER BANK SYARIAH

TEMA : PROFIT SHARING SEBAGAI KARAKTERISTIK BANK SYARI’AH
Bagi hasil menurut terminologi asing (inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai pada suatu perusahaan. Hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Bagi hasil juga merupakan keuntungan atau hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan persyaratan tertentu.
Antoniu dalam bukunya Bank Syari’ah  dari Teori ke Praktik (2001 : 137) menyatakan bahwa prinsip bagi hasil merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, bank syariah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan demikaian bank memiliki dua peran sekaligus yakni Bank bertindak sebagai pengelola dana penabung dan bertindak sebagai penyandang dana bagi pengusaha yang meminjam dana pada bank syari’ah.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya para pengguna dana bank syariah tidak saja membatasi dirinya pada satu akad, yaitu mudharabah saja. Sesuai dengan jenis dan nature usahanya, mereka ada yang memperoleh dana dengan sistem perkongsian, sistem jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. Oleh karena itu, hubungan bank syariah dengan nasabahnya menjadi sangat kompleks karena tidak hanya berurusan dengan satu akad, namun dengan berbagai jenis akad.
Profit sharing pada bank Islam ditentukan beberapa faktor baik faktor langsung maupun faktor tidak langsung. Adapun faktor secara langsung yang dapat mempengaruhi besaran bagi hasil adalah: Pertama, invesment rate  yaitu persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan invesment rate  80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuditas. Kedua, jumlah dana yaitu dana keseluruhan yang digunakan untuk investasi. Ketiga, nisbah yaitu rasio bagi hasil yang ditentukan pada awal perjanjian. Sedangkan faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi besaran bagi hasil yaitu: pertama, penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah. Dalam hal ini, bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan  dan biaya ( profit and sharing ). Pendapatan yang dibagihasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya. Kedua, kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting), bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
Muhammad dalam bukunya Manajemen Dana Bank Syari’ah (2014) menyatakan bahwa Bagi hasil merupakan keuntungan atau hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan persyaratan sebagai berikut: Pertama, Perhitungan bagi hasil disepakati menggunakan pendekatan pola Revenue sharing yaitu para pihak mendapatkan bagian hasil sebesar nisbah dikalikan dengan besarnya pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh pemilik usaha (mudharib) dan Profit and loss sharing yaitu para pihak akan memperoleh bagian hasil sebesar nisbah yang telah disepakati dikalikan besarnya keuntungan (profit) yang diperoleh oleh pengusaha (mudharib). Kedua, Pada saat akad terjadi wajib disepakati sistem bagi hasil yang digunakan, apakah revenue sharing atau profit and loss sharing. Kalau tidak disepakati akad tersebut akan menjadi gharar. Ketiga, Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya pembagiannya setiap bulan, atau waktu yang telah disepakati. Keempat, Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal dan tercantum dalam akad.
Sistem bagi hasil merupakan sistem dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Jika dalam bank konvensional keuntungan diperoleh dari bunga yang dibebankan, maka dalam bank syari’ah tidak ada istilah bunga, akan tetapi bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil. Adapun prinsip-prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah dapat dilakukan dengan dalam empat akad yang utama, yaitu Al Musyarokah, Al Mudharabah, Al Muzara’ah, dan Al Musaqoh. Adapun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah Al Mudharabah dan Al Musyarakah, sedangkan Al Muzara’ah dan Al Musaqoh dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian untuk beberapa Bank Islam.
REFERENSI :
Antoniu, Syafii, Bank syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani, 2001
Muhammad, 2014, Manajemen Dana Bank Syari’ah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.





Kamis, 09 November 2017

KEDUDUKAN PR

TEMA : KEDUDUKAN PUBLIC RELATIONS
Neni Yulianita dalam Bukunya Dasar-dasar Public Relations (2007 : 83) menyatakan kedudukan public relation dalam setiap organisasi, perusahaan atau lembaga mempunyai kedudukan yang sangat strategis, yakni berada diantara dua pihak publik, baik untuk lingkup internal maupun publik lingkup eksternal. Hal ini mengisyaratkan bahwa seorang Public Relation Officer sesuai fungsinya adalah “penyambung lidah” perusahaan atau organisasi, khususnya dalam pengadaan hubungan timbal balik antara publik di dalam dengan publik di luar perusahaan atau organisasi. Selain bertugas sebagai penyampai informasi manajemen dari perusahaan atau organisasi kepada publiknya, Public Relation Officer juga bertugas sebagai saluran informasi dari publik kepada perusahaan atau organisasi.
Dengan kedudukannya yang strategis seperti yang dikemukakan di atas, maka seorang Public Relation Officer harus mempunyai kepekaan terhadap kedua kepentingan publik, baik publik lingkup internal yakni antara pimpinan dan karyawan, maupun dalam lingkup eksternal yakni antara publik perusahaan atau organisasi dengan publik-publik yang berada di luar perusahaan atau organisasi.
Dari gambaran di atas jelas sebagai Public Relation Officer harus dapat melaksanakan fungsi utamanya, yakni menjadi mediator antara perusahaan atau organisasi dengan publiknya. Oleh karena itu Public Relation Officer harus mampu memanfaatkan semua panca inderanya dalam kaitannya dengan opini publik yang muncul yang ditujukan bagi kepentingan perusahaan atau organisasi. Dengan demikian Public Relation Officer harus dapat mendengar, melihat, merasa dan mencium apa yang terjadi dikalangan publiknya setelah mereka menerima informasi tentang kebijakan-kebijakan perusahaan atau organisasi yang disampaikannya. Public Relation Officer juga harus bisa melihat dan merasakan sendiri akibat dari kebijakan perusahaan atau organisasi yang timbul ditengah-tengah publik yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan atau organisasinya.
Dengan demikian, public relations bukan saja merupakan “key information” atau “mulut” perusahaan atau organisasi, melainkan juga sebagai “panca indera” bahkan dapat pula dikatakan sebagai “jantungnya” perusahaan atau organisasi. Dalam hal ini faktor panca indera pada manusia dapat disamakan dengan unsur public relations pada suatu perusahaan atau organisasi, sedangkan faktor jantung dianggap sebagai pusat kegiatan informasi bagi publik-publik yang berkepentingan terhadap perusahaan atau organisasi.
Lebih lanjut menurut Rosady Ruslan (2007: 172) Bila Public Relations diibaratkan sebagai jantung pada manusia maka pimpinan perusahaan atau organisasi dapatlah diibaratkan sebagai otak dari perusahaan atau organisasinya. Pimpinanlah yang mentukan gerak dan tujuan dari perusahaan atau organisasi. Seperti halnya pada manusia, hubungan antara otak, jantung, dan panca indera itu sangat dekat sekali, bahkan merupakan satu unit kerja dan satu wadah kerja yaitu kepala. Dengan demikian antara Public Relations dan Pimpinan utama merupakan “dwi tunggal” yang harmonis dalam menggerakkan perusahaan atau organisasinya. Pimpinan sebagai pemegang policy dan public relations sebagai penterjemah dari policy itu. Demikian pula dalam hal menanggapi akibat dari policy yang timbul ditengah-tengah publikny, Public Relations menyampaikannya kepada pimpinan utama perusahaan atau organisasi.
Dengan demikian Public Relations dapat pula dikatakan sebagai “jembatan penghubung” diantara dua macam publiknya, baik publik internal maupun publik eksternal. Jembatan penghubung yang dapat menterjemahkan bahasa pimpinan menjadi bahasa publik dan sebaliknya secara oprasional, sehingga darinya diharapkan terjadi suatu pengertian  yang dapat memperlancar jalannya perusahaan atau organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dari gambaran kedudukan public relations tersebut, maka idealnya kedudukan Public Relations secara organisatoris jelas harus berada sedekat mungkin dengan pimpinan utama, dan di atas bagian-bagian yang ada dalam perusahaan itu. Kedudukan tersebut diartikan sebagai fungsi menurut hirarki kerja dalam kaitannya dengan aspek komunikasi sebagai unsur-unsur yang ada dalam perusahaan, yang dilihat secara vertikal.
Sesuai dengan fungsinya, kedudukan public relations dalam konteks yang ideal dalam suatu perusahaan atau organisasi, menduduki tempat sebagai konsultan perusahaan atau organisasi khususnya konsultan dalam hal kegiatan komunikasi manajemen perusahaan atau organisasi.  Untuk memerankan fungsinya itu, ia harus mampu sebagai orang yang berkedudukan ditengah-tengah misi manajemen dan misi publik (baik publik dalam ataupun publik luar). Pada perusahaan-perusahaan yang kecil, biasanya tugas public relations dipegang langsung oleh pimpinan sendiri. Misalnya toko-toko kecil, dokter-dokter yang berpraktek sendiri, konsultan-konsultan, dan perusahaan-perusahaan lain yang organisasinya relatif kecil.
REFERENSI
Ruslan, Rosandy, Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Yulianita, Neni, Dasar-dasar Public Relations.Bandung: P2U-LPPM UNISBA, 2007


RUANG LINGKUP PR

TEMA : RUANG LINGKUP PUBLIC RELATIONS
Neni Yulianita dalam Bukunya Dasar-dasar Public Relations (2007: 57) menyatakan ruang lingkup public relations meliputi publik internal (internal public relation), yakni khalayak yang menjadi bagian dari kegiatan usaha suatu organisasi, serta publik eksternal (eksternal public relation), yakni khalayak  yang berada diluar organisasi atau instansi namun dapat menjadi penentu arah kebijakan organisasi.  Publik yang termasuk ke dalam ruang lingkup humas disesuaikan dengan jenis, sifat, atau karakter dari organisasinya. Sebagai contoh, yang termasuk kategori publik internal dalam suatu perusahaan meliputi pimpinan, karyawan, pemegang saham, dan buruh sedangkan yang termasuk dalam kategori publik eksternal adalah konsumen, masyarakat, pemerhati/pengamat, pers, dan pemerintah.
Hubungan dengan khalayak internal harus selalu dibina agar tercipta hubungan yang harmonis, dalam rangka memperoleh kesediaan kerjasama (cooperations) diantara orang-orang yang menjadi bagian dari organisasi/instansi/perusahaan serta memungkinkan orang-orang tersebut untuk ikut berpartisipasi dan berprestasi lebih tinggi dengan mendapatkan kepuasan dri hasil kerjanya. Demikian juga halnya dengan hubungan eksternal harus selalu dibina untuk memperoleh dan meningkatkan citra yang baik dari publik eksternal terhadap organisasi/instansi/perusahaan serta untuk mendapatkan kepercayaan dan penilaian yang positif dari publiknya dan bila perlu untuk memperbaiki citr tersebut.
Menurut Morrisan dalam bukunya Manajemen Public Relations (2008: 9) Besarnya lingkup public relations (humas) menyebabkan tidak semua khalayak dapat dilayani, sehingga public relations memfokuskan kepada khalayak yang tertentu saja. Pemahaman yang terjadi selama ini adalah humas bertugas melayani masyarakat umum. Anggapan tersebut bisa saja benar pada masa lalu, dimana perkembangan sosial, ekonomi, politik masyarakat tidak semaju dan serumit seperti saat ini. Perkembangan masyarakat dewasa ini menyebabkan masyarakat menjadi terbagi-bagi ke dalam segmentasi. Segmen masyarakat yang menjadi khalayak suatu organisasi jelas berbeda dengan khalayak organisasi yang lain. Setiap organisasi memiliki sendiri khalayak khususnya. Kepada khalayak yang terbatas inilah humas senatiasa menjalin komunikasi, baik secara internal maupun eksternal.
Pada awal perkembangannya, ruang lingkup humas hanya sebatas menangani kegiatan yang berhubungan dengan media massa. Selain itu, pada awalnya ruang lingkup humas hanya berkisar pada kegiatan publisitas atau propaganda sehingga orang cenderung memahami humas sama dengan propaganda dan publisitas. Orang biasanya cenderung berpandangan negatif terhadap kata “propaganda”, bahkan praktisi humas sekalipun cenderung menolak jika kegiatan kampanye yang dilakukannya disamakan dengan propaganda. Kita dapat mendefinisikan propaganda sebagai suatu usaha yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan dengan tujuan menggalang dukungan massal bagi suatu pendapat, paham dan kepercayaan tertentu. Propaganda itu sendiri sebagai suatu kegiatan sesungguhnya bersifat netral. Ia bisa menjadi baik atau buruk tergantung pada motif dari orang-orang yang melakukannya. Namun dewasa ini, ruang lingkup humas sudah mencakup seluruh bentuk kegiatan komunikasi dengan kata lain, kegiatan seperti propaganda, publisitas, iklan, dan keuangan telah menjadi bagian dari pekerjaan humas.
Lebih jauh menurut Cutlip-Center-Broom dalam bukunya Effective Public Relations dikutip dari Morrisan (2008: 13) ruang lingkup humas mutakhir mencakup tujuh bidang pekerjaan, yakni publisitas, iklan, press agentry, public affairs, manajemen isu, lobi dan hubungn investor. Pembagian tersebut tentu saja tidak bermaksud mengabaikan peran humas dalam hubungannya dengan publik internal, yaitu para karyawan perusahaan, keluarga karyawan, pemilik modal, dan manajemen perusahaan. Ruang lingkup tugas humas juga tergantung dari karakter organisasi dalam menjalankan visi, misi organisasi serta tujuan yang akan dicapai. Ruang lingkup organisasi, khalayak organisasi juga akan menentukan peranan yang harus dijalankan oleh praktisi humasnya. Apakah cukup mejalankan peran operasional teknik humas, sebagai fasilitator, problem solver, atau seorang ahli. Semakin luas dan kompleks komponen atau elemen publik suatu organisasi, maka organisasi bersangkutan akan membutuhkan peran humas yang semakin banyak dan semakin ahli.
Ruang lingkup pekerjaan humas sebagaimana dikemukakan Cutlip dan rekan tersebut di atas sebenarnya masih dapat dipadatkan menjadi enam bidang pekerjaan, yaitu dengan menjadikan iklan sebagai bagian dari pemasaran dan menggabungkan press agentry merupakan bagian dari publisitas sementara iklan menjadi salah satu kegiatan pemasaran. Dengan demikian, tidak ada gunanya lagi kita membedakan antara publisitas dengan humas, namun demikian menyamakan keduanya juga jelas-jelas salah. Dengan kata lain, kita tidak perlu mempertajam berbagai perbedaan tersebut karena semuanya menjadi bagian dari humas.
REFERENSI
Morissan,  Manajemen Public Relations. Jakarta : Kencana Pernada Media Group, 2008

Yulianita, Neni, Dasar-dasar Public Relations.Bandung: P2U-LPPM UNISBA, 2007

UJIAN AKHIR SEMESTER AUDIT PERBANKAN SYARI'AH

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER AUDIT PERBANKAN SYARI’AH Nama : WASILAH NIM : 1142310169 Kelas : D Perbankan syari’ah 1.            ...